Kementerian luar negeri dan pihak terkait akan
melakukan evaluasi terkait kebijakan "clearing house" untuk peliputan
media asing di Papua
Sebuah pertemuan antara Dewan Pers, AJI Indonesia dan jurnalis membahas soal peliputan di Papua, 29 April 2015. (Foto:VOA/Andylala) |
Jakarat-Salam Juang. Di Hari Kebebasan Pers Dunia
atau World Press Freedom Day (WPFD) 2015, Dewan Pers, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Indonesia dan beberapa organisasi kemanusiaan
internasional, menuntut agar Pemerintah membuka akses informasi dan
peliputan di Papua. Hal itu perlu dilakukan agar publik mendapat
gambaran situasi yang jelas terhadap situasi di Papua.
Anggota Dewan Pers Sabam Leo Batubara di gedung Dewan Pers Jakarta
Kamis (30/4) mengatakan, kebijakan pendampingan oleh aparat pemerintah
kepada media asing yang ingin meliput di wilayah Papua, adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999.
"Wartawan asing mendapat ijin meliput di Papua itu harus didampingi
oleh aparat. Pola pendampingan itu bertentangan dengan undang-undang
pers. Itu dilarang, tidak ada itu penyensoran. Pendampingan terhadap
wartawan yang meliput, ya sama saja dengan penyensoran. Berarti itu
salah," kata Leo Batubara.
Leo Batubara menambahkan, wartawan di Papua dari hasil pantauan Dewan
Pers, hanya bebas memberitakan hal yang disukai oleh pemerintah daerah
setempat. Sementara itu untuk permasalahan HAM, tidak ada media yang
berani mengabarkan isu tersebut, karena sama halnya dengan mencari
masalah.
Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor, mengatakan masih banyak ancaman yang diterima sejumlah media lokal di Papua.
"Saya sendiri pernah ditegur karena saya membuat berita tentang
tentara Indonesia menembak tentara PNG (Papua New Guinea), saya ditegur
tengah malam. Ya intimidasi seperti itu masih sering terjadi ya.
Ditegur, diperiksa, dipanggil ke kantor polisi atau militer setempat,"
kata Viktor.
Indria Fernida dari Asia Justice and Rights (AJAR) mengatakan, ada
keprihatinan bersama dari organisasi pers dan lembaga kemanusiaan yang
tergabung dalam Solidaritas Papua - Jakarta dan Internasional yang
diwujudkan dalam aksi global untuk mendorong akses ke Papua.
Aksi ini dilakukan serentak di 10 negara di dunia dengan tuntutan
diantaranya penghapusan semua pembatasan kunjungan oleh wartawan asing
ke Papua termasuk akses bagi organisasi kemanusiaan dan organisasi HAM
internasional.
"Dalam 50 tahun terakhir secara de facto Papua tertutup. Baik itu
jurnalis, organisasi HAM dan organisasi kemanusiaan. Itu tampak dari
terbatasnya informasi yang sampai di Jakarta. Kami melihat upaya ini
harus dihentikan. Dan ini juga berkaitan dengan beberapa kasus yang
terjadi belakangan yang kami anggap ancaman buat kebebasan berekspresi
dan kebebasan pers," kata Indria Fernida.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri mengakui ada syarat khusus
bagi wartawan asing untuk meliput di Papua. Direktur Informasi dan Media
Kementerian Luar Negeri Siti Sofia menjelaskan, wartawan asing yang
ingin meliput harus melewati proses seleksi 12 persetujuan kementerian
dan lembaga, termasuk pertimbangan TNI dan Polri. Proses ini kemudian
dikenal sebagai clearing house. Siti memastikan proses itu juga diberlakukan oleh semua negara.
"Kita sifatnya koordinasi. Dan di negara manapun saya yakin juga ada.
Informasi soal Papua keluar terus kok.. buat apa ditutup-tutupi. Tapi
kita juga ga mau informassi yang positif (soal Papua) malah tertutup.
Lihat beritanya, apa kami sensor ? Tidak," kata Siti Sofia.
Siti Sofia meyakini bahwa saat ini kementerian luar negeri dan pihak
terkait akan melakukan evaluasi terkait kebijakan clearing house untuk
peliputan di Papua.
"Ya ini sedang kami berusaha. Pendampingan dari kami sifatnya hanya
fasilitasi. Saya merasa ada harapan dengan pendekatan pak Jokowi yang
langsung kesana. Dan memastikan segala sesuatunya harus terbuka,"
imbuhnya.
Dalam situs resmi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia disebutkan, setiap permohonan kunjungan jurnalistik akan diproses dalam
rapat antara instansi pemerintah terkait yang diselenggarakan di
Kementerian Luar Negeri. Meski tidak ada istilah resmi yang merujuk pada
hal tersebut, tetapi awak media mengenalnya dengan "Clearing House".
Situs tersebut juga menjelaskan prosedur pelayanan kunjungan
jurnalistik wartawan asing di Indonesia. Jurnalis asing harus memperoleh
Visa Kunjungan Jurnalistik diberlakukan bagi wartawan asing dan
pembuatan film dokumenter di Indonesia. Setiba di Jakarta, wartawan
asing harus mengurus temporary press identity card ke Direktorat
Informasi Kemlu.
Anggota Dewan Pers Sabam Leo Batubara berharap, kebijakan Presiden
Joko Widodo yang menginginkan Papua sebagai Daerah Terbuka, bisa diikuti
oleh aparatur pemerintah pusat dan Papua termasuk TNI dan Polri.
"Harapan kita kepada Presiden Jokowi yang sudah mendeklarasikan Papua
Daerah Terbuka, harus diselesaikan damai. Berarti, pendekatan ke Papua
tidak boleh lagi pendekatan security / keamanan. Ini persoalan yang
harus diselesaikan, bagaimana supaya kebijakan Presiden itu dalam
turunannya dijabarkan oleh kementerian Pertahanan, kementerian luar
negeri, TNI- Polri, aparat, bahwa memang di sana (Papua) terbuka.
Pada 2014 lalu 2 orang jurnalis Perancis telah dihukum selama 11
minggu dalam tahanan atas dakwaaan pelanggaran imigrasi. Berdasarkan
informasi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua, dalam beberapa
tahun terakhir ini, jurnalis dari Republik Ceko, Perancis dan Belanda
telah dideportasi karena melaporkan situasi politik damai di Papua.
Di Papua, kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis lokal dan
nasional beresiko tinggi. Pada 30 Juli 2010, seorang jurnalis,
Ardiansyah Matra ditemukan meninggal dunia setelah menerima ancaman yang
berulang dari militer ketika ia melakukan investigasi pembalakan hutan.
Pada 24 Agustus 2010, Musa Kondorura dari radio 68H telah diserang
oleh dua orang agen Badan Intelijen Negara (BIN). Pada 3 Maret 2011,
Banjir Ambarita, seorang jurnalis dari Jakarta Globe dan Bintang Papua
telah diserang dan ditikam setelah melaporkan seorang polisi yang
melakukan pemerkosaan dan menyebabkan Kapolresta Papua Imam Setiawan
mengundurkan diri.
Pada 2011, AJI mencatat tujuh buah kasus kekerasan dan intimidasi
terhadap jurnalis. Pada 2012 kasus yang terjadi meningkat menjadi 12
peristiwa. Pada Juli 2013, rumah seorang jurnalis dari Majalah
Selangkah, sebuah media independen online telah digerebek dan digeledah
oleh orang-orang yang tidak dikenal. (VOA/Andylala)
Sumber : VOA
0 Komentar untuk "Berbagai Pihak Desak Presiden Jokowi Buka Akses Informasi di Papua"