Jakarta-Ogiyai-Bouw. Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Mahasiswa
Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (DPP-AMPTPI) kecewa lantaran
pemerintah Indonesia tak berpihak pada masyarakat asli Papua.
Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua dinilai belum
direalisasikan.
Sekretaris Jenderal DPP-AMPTPI Januarius Lagowan menuturkan, selama
53 tahun Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mereka tidak merasa perubahan dari sisi kesejahteraan. Sebaliknya, kata
dia, justru ada upaya pemusnahan etnis Papua secara perlahan-lahan.
"Lonceng kematian rakyat Papua-Melanesia semakin nyata. Pelan dan
pasti bahwa rakyat Papua ada dalam dunia kepunahan 'terancam' akibat
dari biasnya kebijakan pemerintah di Tanah Papua sejak 1 Mei 1963,"
ungkapnya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (25/5).
Pihaknya juga menyoroti keberadaan Freeport yang justru tidak
memberikan dampak signifikan pada kesejahteraan rakyat Papua. Dari hasil
konferensi di Bandung pertengahan Mei 2015, DPP-AMPTPI menghasilkan 8
rekomendasi:
1. Kami mendukung penuh terbentuknya wadah koordinasi United
Liberation Movement of West Papua (ULMWP) dan diterima ULMWP sebagai
anggota penuh Melanesia Speheard Group (MSG) Tahun 2015 dan mendorong
ULMWP masuk ke Pasifik Island Forum (PIF) dan didaftarkan ke Komisi C-24
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Mendesak kepada PT. Freeport Mc Moran and Gold/PT. Freeport
Indonesia melakukan perundingan segi tiga antara Pemerintah Indonesia,
Pemilik Tanah/Rakyat Papua dengan PT Freeport Indonesia sebelum
dilakukan penandatanganan kontrak karya III pada 2021. Jika tidak
dilakukan sesuai dengan tuntutan kami, maka kami sebagai pemilik hak
Ulayat akan melakukan penutupan operasi penambangan PT Freeport.
3. Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka akses bagi jurnalis
asing, diplomat, senator, akademisi dan pemerhati hak asasi manusia
untuk masuk di Tanah Papua.
4. Menolak semua bentuk pemekaran kabupaten/kota dan Provinsi di atas tanah Papua.
5. Pemerintah Indonesia segera membentuk Komisi Pemantauan dan
Penyelidikan Hak Asasi
Manusia (KPP HAM) atas kasus penembakan Paniai
berdarah pada 6 Desember 2014 dan Yahukimo pada Maret 2015, penyelesaian
kasus Wamena berdarah 2003 dan Wasior berdarah 2003 untuk disidangkan
di peradilan Hak Asasi Manusia serta sebagai peristiwa pelanggaran Hak
Asasi Manusia di atas Papua.
6. Pemerintah Indonesia segera menarik pasukan organik dan
non-organik serta menghentikan pengembangan semua infrastruktur Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) di tanah
Papua dan secara khusus menolak tegas rencana pembangunan Markas Komando
Brimob di Wamena Kabupaten Jayawijaya, Papua.
7. Mendesak Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan
para Bupati/Wali Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk
melakukan sensus khusus Orang Asli Papua (OAP) setiap tahun, dengan
mengeluarkan Perdasus tentang pembatasan penduduk Migran dan membuat
Kartu Tanda Penduduk OAP.
8. Mendesak Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat untuk menutup
semua tempat penjualan minuman keras/beralkohol dan prostitusi Seks
Komersial di atas Tanah Papua.
"Oleh karena itu, semua pihak bangkit berdiri bergandeng tangan bersatu selamatkan Papua," tutup Januarius.
Sumber : Merdeka,com
0 Komentar untuk "AMPTPI : 53 Tahun jadi bagian Indonesia, rakyat Papua tak rasakan sejahtera"