West Papua Are Melanesia, Not Indonesia Melayu ( Gambar : Nesta Ones Suhuniap. Dok Fb |
Oleh : Nesta Ones Suhuniap
Mengapa rakyat Papua
Barat Ingin Merdeka Keluar dari Indonesia?
Mengapa rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan mereka?
Kapan mereka mau berhenti berjuang?
Kapan mereka mau berhenti berjuang?
Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki
negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun yaitu :
1. Hak
2. Budaya
3. Latarbelakang Sejarah
4. Realitas Sekarang
1. Tentang Hak
Kemerdekaan adalah »hak« berdasarkan Deklarasi Universal HAM (Universal
Declaration on Human Rights) yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan
Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak
kolektif di dalam mana hak penentuan nasib sendiri (the right to
self-determination) ditetapkan.
»All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they
freely determine their political status and freely pursue their economic,
social and cultural development - Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib
sendiri. Atas dasar mana mereka bebas menentukan status politik mereka dan
bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka« (International
Covenant on Civil and Political Rights, Article 1). Nation is used in the
meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished from the concept
State - Bangsa digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan
dari konsep Negara (Riop Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat
mencakup beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (A state can include
several nations, meaning Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis the right to self-determination (hak penentuan nasib sendiri),
yaitu external right to self-determination dan internal right to
self-determination.
External right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk
mendirikan negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak
penentuan nasib sendiri untuk memiliki negara Papua Barat di luar negara
Indonesia. External right to self-determination, or rather self-determination
of nationalities, is the right of every nation to build its own state or decide
whether or not it will join another state, partly or wholly (Roethof 1951:46) -
Hak external penentuan nasib sendiri, atau lebih baiknya penentuan nasib
sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk
negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain,
sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1). Jadi, rakyat Papua Barat dapat
juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam negara tetangga Papua New Guinea.
Perkembangan di Irlandia Utara dan Irlandia menunjukkan gejala yang sama.
Internal right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri bagi
sekelompok etnis atau bangsa untuk memiliki daerah kekuasaan tertentu di dalam
batas negara yang telah ada. Suatu kelompok etnis atau suatu bangsa berhak
menjalankan pemerintahan sendiri, di dalam batas negara yang ada, berdasarkan
agama, bahasa dan budaya yang dimilikinya. Di Indonesia dikenal Daerah Istimewa
Jogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah daerah-daerah semacam ini
biasanya dilimpahi kekuasaan otonomi ataupun kekuasaan federal. Sayangnya,
Jogyakarta dan Aceh belum pernah menikmati otonomi yang adalah haknya.
2. Tentang Budaya
Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras
Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat
memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua
Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia
Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian
dari Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali,
Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain.
Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya
menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan nasionalisme
superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman pada Perang Dunia II). Adolf Hitler
menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika) merupakan manusia super yang lebih
tinggi derajat dan kemampuan berpikirnya daripada manusia asal ras lain. Rakyat
Papua Barat sebagai bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof
sebagaimana terdapat pada ad 1 di atas.
3. Tentang Latarbelakang Sejarah
Kecuali Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan
Belanda, kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan
politik sepanjang perkembangan sejarah. Analisanya adalah sebaga berikut:
Pertama : Sebelum adanya
penjajahan asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari
50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk
beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa
daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih
terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai
contoh, seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani
dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbai. Dari dalam
tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat garis politik
vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.
Kedua : Rakyat Papua Barat
memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan
Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada
awal tahun 1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki
garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan
Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir
berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar
penjajahan asing.
Ketiga : Lamanya penjajahan
Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua
Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir
ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua
Barat, secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun
(1898-1962).
Keempat : Batas negara
Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah
dari »Aceh sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai Merauke«. Mohammed Hatta
(almarhum), wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru menentang
dimasukkannya Papua Barat ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok
Hindia Belanda oleh Ottis Simopiaref).
Kelima : Pada Konferensi Meja
Bundar (24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den Haag (Belanda) telah
dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat
tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status
Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran
II pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Keenam : Papua Barat pernah
mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah
memiliki bendera national »Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan
dan nama negara »Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New
Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961
secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah
Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh seluruh
rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Ketujuh : Dari 1 Oktober 1962
hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian PBB di bawah United
Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969,
Papua Barat merupakan daerah perselisihan internasional (international dispute
region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik
internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan
sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.
Kedelapan : Pernah diadakan
plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di
dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil
Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa
pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum
PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di dunia politik internasional.
Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil
Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah
yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri.
(Silahkan lihat lebih lanjut pokok tentang Pepera dalam Karkara oleh Ottis
Simopiaref).
Kesembilan : Rakyat Papua Barat,
melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah menyampaikan berbagai
pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo
(almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi
Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan
sebuah negara RI (Plunder in Paradise
oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua
Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap
masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery
Society). Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari
Gerakan Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari
DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami
(alm.) dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry
Awom (alm.) dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold
Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai
(alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan
cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang
berbeda memprotes adanya penjajahan asing di Papua Barat.
4. Tentang Realitas Sekarang
Rakyat Papua Barat menyadari dirinya
sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua
Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat
Papua Barat memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping
itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar
perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme
Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan
yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat
mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk
tentang sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal
sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas,
sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan)
menulis. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada tahun 1984 terjadi exodus
besar-besaran ke negara tetangga Papua New Guinea dan empat pemuda Papua yaitu
Jopie Roemajauw, Ottis Simopiaref, Loth Sarakan (alm.) dan John Rumbiak (alm.)
memasuki kedutaan besar Belanda di Jakarta untuk meminta suaka politik.
Permintaan suaka politik ke kedubes Belanda merupakan yang pertama di dalam
sejarah Papua Barat. Gerakan yang dimotori Kelompok Musik-Tari Tradisional,
Mambesak (bahasa Biak untuk Cendrawasih) di bawah pimpinan Arnold Ap (alm.)
merupakan manifestasi politik anti penjajahan yang dikategorikan terbesar sejak
tahun 1969. Kebanyakan anggota Mambesak mengungsi dan berdomisili di Papua New
Guinea sedangkan sebagian kecil masih berada dan aktif di Papua Barat.
Dr. Thomas Wainggai (alm.) memimpin
aksi damai besar pada tanggal 14 Desember 1988 dengan memproklamirkan
kemerdekaan negara Melanesia Barat (Papua Barat). Setahun kemudian pada tanggal
yang sama diadakan lagi aksi damai di Numbai (nama pribumi untuk Jayapura)
untuk memperingati 14 Desember. Dr. Thom Wainggai dijatuhkan hukuman penjara
selama 20 tahun, namun beliau kemudian meninggal secara misterius di penjara
Cipinang. Papua Barat dilanda berbagai protes besar-besaran selama tahun 1996.
Tembagapura bergelora bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13 Maret).
Numbai terbakar tanggal 18 Maret menyusul tibanya mayat Thom Wainggai. Nabire
dijungkir-balik selama 2 hari (2-3 Juli). Salah satu dari aksi damai terbesar
terjadi awal Juli 1998 di Biak, Numbai, Sorong dan Wamena, kemudian di
Manokwari. Salah satu pemimpin dari gerakan bulan Juli 1998 adalah Drs. Phillip
Karma. Drs. P. Karma bersama beberapa temannya sedang ditahan di penjara
Samofa, Biak sambil menjalani proses pengadilan.
Gerakan Juli 1998 merupakan yang
terbesar karena mencakup daerah luas yang serentak bergerak dan memiliki jumlah
massa yang besar. Gerakan Juli 1998 terorganisir dengan baik dibanding
gerakan-gerakan sebelumnya. Di samping itu, Gerakan Juli 1998 dapat menarik
perhatian dunia melalui media massa sehingga beberapa kedutaan asing di Jakarta
menyampaikan peringatan kepada ABRI agar menghentikan kebrutalan mereka di
Papua Barat. Berkat Gerakan Juli 1998 Papua Barat telah menjadi issue yang
populer di Indonesia dewasa ini.
Di samping sukses yang telah dicapai
terdapat duka yang paling dalam bahwa menurut laporan dari PGI (Persekutuan
Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat
mereka telah ditemukan terdampar di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak
wanita yang diperkosa sebelum mereka ditembak mati. Realitas penuh dengan
represi, darah, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan, namun perjuangan
tetap akan dilanjutkan. Rakyat Papua Barat menyadari dan mengenali realitas
mereka sendiri. Mereka telah mencicipi betapa pahitnya realitias itu. Mereka
hidup di dalam dan dengan suatu dunia yang penuh dengan ketidakadilan, namun
kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan di mana-mana bahwa »We shall
overcome someday!« (Kita akan menang suatu ketika!).
Masa depan: Tidak diikut-sertakannya
rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New
York Agreement yang mendasari Act of Free Choice, Roma Agreement dan
lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan
oleh pemerintah (state violence) dalam hal ini pemerintah Indonesia dan
Belanda.
(Untuk Roma Agreement, silahkan melihat lampiran pada Karkara oleh Ottis
Simopiaref). Rakyat Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk memilih secara
demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap artinya oleh pemerintah
Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian dari Act of
Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya Pepera
melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk memilih.
Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan
pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan HAM
melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana rakyat Papua
Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB agar
kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu. Sejak pencaplokan pada 1 Mei
1963, pemerintah Indonesia selalu berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan
Papua Barat hanya segelintir orang yang sedang bergerilya di hutan. Tapi,
Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah menyadari bahwa
jika diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua Barat akan
memilih untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun semakin menyadari
hal ini [.]
Penulis : Sekertaris Umum Komite Nasional Papua Barat [KNPB] Pusat.
0 Komentar untuk "Mengapa rakyat Papua Barat Ingin Merdeka Keluar dari Indonesia? "