Bernardo Boma, mahasiswa Papua di Semarang. (Dok Pribadi - SP) |
Oleh:
Bernardo Boma
Kompleksitas
sejarah dan manipulasi status politik adalah akar persoalan Papua menjadi
masalah yang meninggkat sejak 1 Mei 1963 ketika wilayah Papua dianeksasi
kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendudukan Indonesia di wilayah
Papua membawah malapetaka dalam kehidupan rakyat Papua. Persoalan akut dan
paling membekas dalam sejarah perjalanan hidup orang Papua adalah kekerasan
militer terhadap orang asli Papua dengan berbagai macam dalil dan stigam serta
marginalisasi yang menjadi bagian dari kehidupan rakyat Papua sehari-hari
Namun,
Penderitaan hingga kini masih berlanjut dan ditutupi oleh rezim otoritarian
negara yang penuh dengan pendekatan kekerasan, memarginalisasi orang Papua.
Penderitaan rakyat Papua adalah sebuah ancaman serius yang distigma
“separatis”, “terbelakang”, “OPM”, “Gerakan Pengacau Keamanan” dan “tidak
berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Dari
berbagai segi kehidupan, baik dari aspek ekonomi, politik dan kebudayaan tidak
terlepas dari sejarah perkembangan kehidupan Rakyat Papua. Jika kita menyimak
bagaimana awal gagasan pembentukan Bangsa Papua oleh kaum intelektual Papua
pada dekade 1960-an tentunya mereka memiliki cita-cita agar Rakyat Papua dapat
membangun Bangsa dan Tanah Airnya dengan lebih baik, lebih demokratis, lebih
adil dan lebih manusiawi serta lebih sejahtera di negerinya.
Keinginan
dan tentang rumusan negara yang dikehendaki para pengagas Bangsa Papua, untuk
memerdekakan Rakyat dan membentuk suatu negara adalah wujud cita-cita yang
mulia karena menghendaki agar Rakyatnya terbebas dari sebuah penjajahan. Salah
satu gagasan dari Resolusi Kongres Nederland Nieuw Guinea Raad (Dewan Niuew
Guinea) pada tanggal 19 Oktober 1961, yang memiliki arti penting bagi Rakyat
Papua saat ini adalah semboyan “One People One Soul” yang artinya Satu Rakyat
Satu Jiwa. Semboyan ini mengartikan persatuan dari seluruh rakyat Papua yang
beraneka ragam suka, bahasa, tradisi, adat dan kehidupan ekonominya.
Saat
itu Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno yang egois dan angkuh telah
melancarkan sebuah usaha untuk menggagalkan lahirnya negara Papua Barat. Yang
mana setelah deklarasi kemerdekaan Bangsa Papua Barat 1 Desember 1961, kemudian
pada tanggal 19 Desember 1961 Indonesia melalui Soekarno mengumandangkan
TRIKORA. Yang diikuti oleh mobilisasi militer dan para militer untuk menguasai
Papua dari tangan Belanda. Dengan alasan membebaskan Papua dari penjajahan
Belanda, gagasan membentuk sebuah negara Papua Barat adalah murni kehendak
Rakyat Papua yang dipelopori oleh kaum intelektual Papua pada waktu itu,
diantaranya: N. Jouwe, M.W. Kaiseppo, P. Torei, M.B. Ramendey, A.S.
Onim, N. Tanggahma, F. Poana dan Andullah Arfan.
Sejak
TRIKORA 19 Desember 1961 dan penyerahan administrasi dari pemerintahan sementara
PBB (UNTEA) kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Indonesia selalu mengunakan
militer (TNI-Polri) sebagai tameng untuk menghadapi perlawanan Rakyat Papua
yang tidak menghendaki kehadiran Indonesia.
Realisasi
dari isi Trikora itu Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang
memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk
melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari
tangan Belanda.
Operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba dan lain-lain.
Tidak
hanya sampai di situ dalam sejarah Indonesia, pada rezim pemerintah Soeharto
yang otoriter militeristik, Propinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer
(DOM), sehingga beberapa kali terjadi Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI
atau sekarang disebut TNI. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia
menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi
besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar. Operasi
Militer yang dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965–1967), Operasi Bhratayuda
(1967–1969), Operasi Wibawa (1967–1969), Operasi Pamungkas (1969–1971) Operasi
militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981),
Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983–1984) dan Operasi Sapu
Bersih (1985), Operasi Militer di Mapenduma (1996). Kemudian masih terus
melakukan kekerasan setelah pemberlakukan Otonomi Khusus adalah pelanggaran HAM
di Wasior (2001).
Pada
10 November 2001, tepatnya 13 tahun yang lalu, Pemimpin Besar Bangsa Papua
Barat, Dortheys Hiyo Eluay, ditemukan tewas dalam mobilnya di Kilo Meter 9,
Koya, Muara Tami, Jayapura. pada 08 Desember 2014. 4 (empat) orang Pelajar mati
ditembak oleh aparat keamanan (TNI/Polri) dilapangan Karel Gobay pada pagi
hari, Namun hingga kini belum ada kejelasan Pemerintah dalam upaya penyelesaian
kasus Paniai Berdarah walaupun Komnas HAM sudah merekomendasikan dan sudah
membentuk Panitia Ad Hock dan banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum
diselesaikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Hingga
saat ini, dapat kita saksikan sendiri bagaimana kekerasan dan marginalisasi
terhadap Rakyat Papua dari segi ekonomi, kesehatan dan pendidikan terjadi di
depan mata kita, bagaimana perilaku aparat militer Indonesia terhadap Rakyat
Papua, bagaimana tanah-tanah adat dijadikan lahan investasi perusahaan milik
negara-negara Imperialis, Ekonomi rakyat seperti Pasar, kios, toko dan ruko
dikuasai oleh bukan orang asli Papua sehingga orang asli Papua dimarginalkan
dari atas tanahnya sendiri adalah salah satu bentuk diskriminasi rasis di Papua
yang dibangun oleh negara melalui pendekatan pembangunan Pos-pos militer,
penambahan pasukan militer Organik maupun Non Organik pembukaan lahan bagi
perusahan asing yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Papua membawa
malapetakan bagi orang Papua dari segi Ekonomi, Sosial dan Budaya yang dulunya
kehidupannya alamiah
Tidak
cuma itu, tingginya kematian di Papua khususnya kematian Ibu dan Anak ,Tenaga
dan prasarana, Tenaga medis sangat minim, bagaimana lapangan pekerjaan yang ada
cuma PNS dan buruh perusahaan milik negara-negara imperialis, bagaimana
minimnya tenaga guru dan prasarana pendidikan di daerah-daerah pelosok dan
masih banyak lagi persoalan lain yang sedang membelenggu Rakyat Papua saat ini.
Hal yang demikian terjadi diseluruh Papua dan tetap akan dipertahankan,
guna kepentingan penguasaan terhadap Tanah Papua. Sehingga kesejahteraan
menjadi alasan rasional Indonesia terhadap gejolak konflik di Papua yang
sebenarnya berkaitan dengan Identitas suatu bangsa yang hendak memerdekakan
diri.
Terbelenggunya
Rakyat Papua dalam sebuah penjajahan, penindasan dan diskriminasi dikarenakan
kita diperhadapkan pada musuh bersama seluruh Rakyat Papua cengkraman maut yang
mematikan dari yang namanya Kolonialisme Indonesia, Imperialisme, dan
Militerisme.
Kolonialisme
Indonesia di Papua Barat dimulai
ketika adanya invasi militer ke Papua sejak TRIKORA 1961 dengan pembentukan
Komando Mandala untuk melancarkan operasi “Mandala” yang dipimpin oleh Letjend.
Soeharto. Ini bertujuan untuk melakukan ekspansi (peluasan wilayah kekuasaan)
negara Indonesia. Ini dilakukan berdasarkan klaim yang tidak logis dan
sepihak dari Soekarno, bahwa jauh sebelum Indonesia lahir, papua adalah bagian
dari kerajaan majapahit dan beberapa klaim lainnya.
Hingga
kini, untuk menjalankan kolonisasi dan mempertahankan kekuasaannya atas Tanah
Papua, mesin birokrasi, sistem politik seperti pemilu dan militer
(TNI-Polri) digunakan untuk melegitimasi keberadaan Indonesia di Papua.
Birokrasi merupakan mesin legal Indonesia untuk menjadikan Papua bagian dari
NKRI dan militer merupakan alat reaksioner yang digunakan untuk mempertahankan
Papua apapun caranya. Dan sistem politik seperti pemilu untuk menunjukkan kalau
Rakyat Papua patuh terhadap sistem politik yang berlangsung di Indonesia.
Hal
sama seperti yang pernah dilakukan Belanda terhadap Indonesia dan Papua,
kembali dilakukan oleh Indonesia terhadap bangsa Papua.
Kolonial
Indonesia dengan Sistem politik dan militer, kebijakan politik seperti UU NO 21
Tahun 2001 tentang Otsus, UU Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB), UP4B dan
kebijakan lain hanya merupakan upaya untuk mempertahankan Papua tetap dalam
kekuasaan Indonesia.
Imperialisme,
dengan penandatanganan Kontrak Karya
PT. Freeport milik Imperialis Amerika dengan pemerintahan Soeharto pada tahun
1967 menunjukan bahwa Papua saat ini sedang berada dalam cengkraman
negara-negara Imperialis. Hal ini ditunjukan dengan masuknya berbagai
perusahaan-perusahaan berskala Multy National Coorporation (MNC) seperti BP di
Bintuni dan LNG Tangguh di Sorong Selatan serta pembukaan perkebunan skala luas
seperti MIFEE di Marauke dan Corindo dan Medco yang sudah ada jauh sebelumnya.
Untuk mengamankan keberlangsungan aktifitas eksploitasi perusahaan-perusahaan
milik imperialis ini, militer (TNI-Polri) selalu digunakan untuk menghalau
perlawanan Rakyat pemilik hak ulayat. Nyatanya, keberadaan
perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat mensejahterakan seluruh Rakyat Papua
yang berjumlah kurang lebih tiga juta jiwa.
Militerisme, di Papua awal mulai dengan masuknya penjajah Belanda, baru
kemudian sifat reaksionernya muncul ketika Indonesia hadir di Papua.
Militerisme Indonesia memulai aksinya di Papua paska TRIKORA 19 Desember 1961
dengan adanya seruan untuk memobilisasi umum rakyat Indonesia untuk membebaskan
Papua Barat dari Belanda oleh Soekarno. Katanya membebaskan namun faktanya hari
ini sedang menjajah.
Penerapan
kebijakan operasi militer yang pertama yaitu Operasi Mandala tahun 1961 dan
berbagai operasi lain untuk melakukan teror, intimidari, pengejaran,
pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung,
dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu, Daerah Operasi Militer
(DOM) melalui Operasi Koteka pada tahun 1970-an, Rakyat Papua dipaksa untuk
mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.
Penyelesaian
persoalan Papua melawan sistem yang sudah sekian lama menghisap, menindas
dan menjajah rakyat Papua, untuk penyelesaian status Politik rakyat Papua
adalah Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determination) bagi rakyat
Papua merupakan satu-satunya tawaran solusi demokratis, adil dan bermartabat
yang lahir dari rakyat Papua dalam penyelesaian persoalan Papua sebagai tahapan
rakyat Papua untuk menentukan sikap hidup secara, sadar dan demokratis, apa
tetap bersama Indonesia atau merdeka sendiri. Melalui mekanisme internasional
yang dikenal dengan nama referendum.
Penulis
adalah aktivis Mahasiswa Papua di Semarang.
Referensi
:
- Rinto R Kogoya, Persoalan pokok rakyat Papua dan Jalan keluarnya (http://komitepusatamp.blogspot.co.id/2013/04/persoalan-pokok-rakyat-papua-dan-jalan.html)
- Socratez Sofyan Yoman, Kami Berdiri Di Sini, (Jayapura; ETM Press,).
- Yorrys Th. Raweyai, 2002. Mengapa Papua Ingin Merdeka, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 16.
- Rudiyanto,S.Th, M.Th, 2015 Sejarah Papua Akar Persoalan Masalah Papua Materi dalam seminar Demokrasi, Kebebasan, dan Kemanusiaan Era Reformasi Indonesia di Papua, yang diadakan di Kampus UNWAHAS Semarang
- Tri Komando Rakyat Pembebasan
Irian Barat (TRIKORA),
Markas Basar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan
Tradisi ABRI, Jakarta
Sumber : Suara Papua
0 Komentar untuk "Kekerasan dan Persoalan Rakyat Papua Menuju Pembebasan"