Oleh :
Alm Camrade Rinto Kogoya
“Tulisan ini untuk
mempertegas sikap Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] yang menolak
adanya gagasan untuk menyelesaikan
persoalan Papua dengan jalan Dialog, sehingga dasar kita menolak memiliki
alasan yang logis dan rasional”
Saya
lansung saja menguraikan kenapa secara organisasi, AMP dengan tegas menolak
gagasan Dialog yang sedang didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP) maupun yang
akhirnya diikuti oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe yang juga mengharapkan
adanya dialog dengan pemerintah Pusat. Tapi menurut Lukas, kata dialog
sebaiknya diubah dengan kata yang lebih halus.
Pertama,
kenapa AMP menolak gagasan dialog yang didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP)
dibawah kordinator Pater DR. Neles Tebay, Pr. Gagasan dialog ini muncul setelah
sekian lama rakyat Papua berjuang untuk menuntut Kemerdekaan. Dan dianggap
sebagai salah satu solusi penyelesaian persoalan Papua. Selain solusi
demokratis lain yang diperjuangkan oleh organisasi-organisasi perlawanan di
Papua seperti Hak Menentukan Nasib Sendiri melalui mekanisme Referendum dan
Pengakuan Kedaulatan oleh Indonesia.
Menurut
JDP, konflik di Papua yang berkepanjangan disebabkan karena beberapa
faktor persoalan mendasar, diantaranya; Sejarah Politik Papua yang
Belum Tuntas tentang PEPERA 1969, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),
Ketidakadilan Pembangun dan Marginalisasi. Berbeda dengan AMP yang melihat
persoalan mendasar di Papua karena adanya ; Kolonialisme Indonesia,
Imperialisme dan Militerisme. Tentu berbeda pula solusi yang diperjuangkan bagi
penyelesaian persoalan Papua.
Menurut
kami, apa yang dikemukan oleh JDP merupakan sebuah tesis atau disertasi
doktoral yang coba dijadikan panduan penyelesaian persoalan, bukan merupakan
sebuah hasil analisa yang tajam dan mendalam tentang Papua. Kenapa demikian?
Hal ini dikarenakan JDP dalam melihat sejarah Papua hanya berpijak dari
pelaksanaan PEPERA 1969 dan tidak secara menyeluruh dari tahun 1960an awal atau
pertengahan atau tahun-tahun sebelumnya dimana proses awal Identitas Nasional
Bangsa Papua itu lahir.
Selain
sejarah politik Papua, pelanggaran HAM menjadi fokus persoalan bagi JDP.
Sehingga persoalan HAM harus menjadi satu bagian yang didialogkan. Sebenarnya
apa yang diharapkan oleh JDP? Untuk memperjuangkan HAM rakyat Papua? Saya
ajukan satu pertanyaan, sudah berapa banyak para pelaku pelanggar HAM yang
diadili oleh Pengadilan Indonesia dan hasilnya benar-benar memberikan rasa
keadilan untuk rakyat Papua? Apalagi bagi Indonesia, mereka yang melakukan
pelangaran HAM dianggap “Pahlawan”. Semua pengadilan terhadap pelaku
pelanggar HAM di Papua hanya formalitas belaka diatas meja sidang, untuk menunjukan
kalau Indonesai menghargai HAM rakyat Papua. Menurut kami, pelanggaran HAM
merupakan efek dari sebuah pendudukan atau penjajahan yang dilakukan oleh
Indonesia untuk mempertahankan hegemoninya atas Papua. Sehingga, untuk
menghentikan terjadinya pelanggaran HAM, rakyat Papua harus hidup merdeka dan
bebas dari dari sebuah penjajahan yang sedang dilakukan oleh Indonesia.
Dua
soal lain yaitu ketidakadilan pembangunan dan marjinalisasi juga menjadi fokus
JDP dalam konsep dialog yang ditawarkan. Kembali kami pertegas, bahwa kolonial
akan selalu mendominasi wilayah yang dikoloni baik secara ekonomi politik
maupun sosial kebudayaan. Kolonial selalu menghambat laju perkembangan kemajuan
disemua aspek kehidupan rakyat di wilayah yang dikoloni. Mengharapkan adanya
kemajuan dalam pembangunan dan rakyat Papua tidak termarjinalkan adalah
mengharapkan sesuatu yang mustahil.
Sehingga
kembali ke penafsiran masing-masing, yaitu Papua itu bagian dari Indonesai atau
wilayah yang dikoloni atau dijajah oleh Indonesia? Jika Papua bagian dari
Indonesia, dan mengharapkan adanya perbaikan kesejahteraan, maka yang harus
diperjuangkan adalah transformasi industri manufaktur kebutuhan pokok (sandang,
pangan dan papan) rakyat yang berpusat diwilayah lain di Indonesia seperti Jawa,
Sumatera dan Sulawesi ke Papua. Lahir pertanyaan baru, apa hal itu mau
dilakukan oleh Indonesia terutama kaum pemilik modalnya? Jelas itu sesuatu yang
mustahil karena industri selalu membutuhkan pasar dan tenaga kerja, dan Papua
bukan pasar yang menguntungkan dari sisi jumlah penduduk yang ada saat ini
dibanding daerah lain di Indonesia apalagi kesediaan tenaga kerja.
Penjelasan
diatas terkait konsep dialog yang ditawarkan oleh JDP yang dengan tegas ditolak
oleh AMP. Selain penolakan atas konsep dialog, tidak adanya kesepahaman bersama
antar organisasi perlawanan di Papua yang pro dialog dan kontra dialog akan
menjadi bumerang bagi rakyat Papua. Bagaiman dengan sayap militer gerakan
Kemerdekaan Papua TPN-PB yang dengan tegas menolak bentuk-bentuk kompromi
seperti dialog? Saya kira Tim 100 pada tahun 1999 juga telah melakukan tahapan
dialog dengan Indonesia, menghasilkan OTSUS yang oleh Indonesia dianggap
sebagai solusi dan tidak bagi rakyat Papua yang menghendaki Kemerdekaan.
Kedua,
kenapa AMP menolak dengan tegas gagasan dialog yang diusung oleh Gubernur
Papua, Lukas Enembe? Dari apa yang diutarakan oleh Lukas Enembe bahwa bukan
kata dialog tapi diubah dengan kata yang lebih halus, maksudnya? Dan dialog
yang dilakukan berkaitan dengan kesejahteraan. Hal ini menandakan bahwa Lukas
ingin hadir sebagai sosok “Pahlawan Kesiangan” bagi rakyat Papua. Selain
itu, menunjukan kalau Lukas tidak memahami mekanisme dalam birokrasi yang ia
pimpin. Apa tidak ada cara lain untuk mengurus masalah kesejahteraan rakyat Papua?
Seperti ; rapat konsultasi atau rapat kerja atau dengan kata yang lebih halus
“diskusi” dengan birokrasi diatasnya yaitu pemerintah pusat untuk membahas
bagaimana mengatasi masalah kesejahteraan di Papua.
Menurut
kami, ada tidaknya dialog antara pemerintah provinsi Papua dan pemerintah pusat
tidak akan mengubah eskalasi perlawanan rakyat di Papua. Karena, baik
pemerintah provinsi Papua maupun pemerintah pusat adalah satu rangkaian
birokrasi yang saat ini sedang menjajah Papua.
Saya
merasa penting untuk menjelaskan bagaimana kolonialisme Indonesia tetap
berlangsung dan terjadi di Papua. Kolonialisme adalah “kebijakan dan praktek kekuatan
dalam memperluas kontrol atas masyarakat lemah atau daerah”. Kolonialisme selalu memiliki sifat yang arogan dan ekspansionis. Tujuan
utama kolonialisme adalah menguras sumber kekayaan, sedangkan
kesejahteraan dan pendidikan rakyat daerah koloni, tidak diutamakan. Dari pengertian dan tujuannya
jelas bahwa Papua sedang di jajah oleh Indonesia. Kolonialisme Indonesia
berlangsung di Papua melalui mesin birokrasi, sistem politik yaitu pemilu dan
penempatan militer (TNI-Polri). Birokrasi yang ada di Papua saat ini merupakan
perpanjangan tangan atau pelaksana dari birokrasi pemerintah penjajah Indonesia.
Birokrasi dan sistem politik seperti pemilu tujuannya untuk memperkuat
legitimasi kekuasaan politik Indonesia atas Papua. Sehingga, penting untuk
memajukan kesadaran rakyat Papua tentang bagaimana Kolonialisme Indonesia itu
berlangsung di Papua, untuk kemudian rakyat Papua dapat menentukan sikap
politiknya.
Tentu
AMP tidak hanya menolak, Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self
Determination) bagi rakyat Papua merupakan solusi demokratis yang menurut
kami dapat menyelesaikan persoalan Papua. Seperti apa yang dikatakan oleh Pdt.
I.S. Kijne pada 25 Oktober 1925 di Wasior-Manokwari ”Di atas batu ini saya
meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi,
akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan
bangkit dan memimpin dirinya sendiri”. AMP juga memiliki keyakinan bahwa
rakyat Papua dapat memimpin dirinya sendiri dan dapat menjalani hidup
dengan sejahtera, adil, demokratis dan bermartabat jika Papua
Merdeka.
Akhirnya,
kami menyerukan kepada seluruh organisasi perlawanan Papua untuk menghilangkan
ego dan faksisme dan bersama-sama memperjuangkan Kemerdekaan Sejati Rakyat
Papua untuk hari depan Papua yang lebih baik.
Salam!
Penulis
adalah Mantan Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat AMP [Ketum KPP AMP]
Catatan : Sebelumnya Pernah Publikasihkan diblog Komite Pusat
AMP
0 Komentar untuk "Dialog Tidak Menyelesaikan Persoalan Papua"