Group Mambesak pada saat malam kesenian di kampus UNCEN Abepura (Ist) |
Salam Juang-Numbay. Grup Mambesak atau dalam bahasa Biak Numfor berarti burung Cenderawasih atau burung kuning. Tidak terlalu terkenal di Indonesia, setenar Black Brothers akan tetapi grup musik Mambesak bagi rakyat Papua adalah merupakan simbol dan kebangkitan seni budaya Papua.
Pada era kejayaanya, Mambesak di motori oleh Arnold Clemens AP, Eddy Mofu, Sam Kapisa, Yoel Kafiar, dan Martiny Sawaki. Ide dasar terbentuknya grup ini adalah untuk mengangkat kesenian rakyat Papua yang berakar pada lagu-lagu dan tarian rakyat, dan menampilkannya dalam bentuk nyanyian dengan peralatan Ukulele (gitar kecil), Tifa (kendang khas Papua), Bass, dan Gitar. Arnold C. Aap, seorang tokoh antropolog dan pemerhati musik dan budaya Papua yang dalam sejarahnya merintis sebuah group musik “MAMBESAK” dengan melagukan lagu-lagu daerah asli era tahun 70-an dari berbagai bahasa daerah di Tanah Papua, menjadi sebuah sosok yang patut di contohi oleh generasi muda negeri ini.
Kehadiran Mambesak kala itu disambut antusias rakyat Papua yang membayangkan identitas budaya mereka. Kebangkitan budaya Papua yang lama terpendam sempat muncul pada tahun 1970−1980-an, ketika Arnold Ap dan Grup Mambesak-nya begitu terkenal di seluruh Papua. Lima volume kaset Mambesak yang berisi reproduksi dan rearrangement lagu-lagu daerah Papua berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk dari Mambesak di Studio RRI Nusantara V Jayapura setiap hari Minggu siang sangat populer pada era tersebut.
Salah satu ciri khas grub ini, pementasan mereka juga diselingi dengan mop (guyonan) khas Papua) yang dibawakan oleh Arnold Ap. Dalam setiap penampilannya, selain menyanyikan lagu dan menari, Mambesak juga menggunakan logat bahasa Indonesia dialek Papua dan menguraikan beberapa unsur-unsur kebudayaan Papua.
Kebangkitan identitas budaya Papua melalui kesenian inilah yang
dicurigai oleh Pemerintah Indonesia sebagai benih-benih separatisme
Papua. Aparat keamanan saat itu, Koppasandha (kini Kopassus) mencurigai
gerakan kebudayaan Arnold Ap dan Mambesak adalah benih laten
“nasionalisme Papua” dalam “bungkus kultural”. Arnold Ap akhirnya ditembak
di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura pada 26 April 1984,
pada saat sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan
mengungsikannya ke Vanimo, Papua Nugini, ke mana isteri, anak-anak, dan
sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu pada 7 Februari
1984.
Belum lagi, arus perkembangan moderen (globalisasi) begitu cepat masuk di seantero indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya menyebabkan hilangnya nilai-nilai kearifan lokal budaya adat istiadat yang menjadi sebuah identitas suatu komunitas manusia. Musik tradisional Papua dengan lagu daerah merupakan sebuah ciri khas yang menunjukan integritas manusia Papua kini diambang kepunahan.
Bercerita dalam bentuk tarik suara, itulah irama yang dimainkan grub Mambesak. Pengungkapan isi hati dan perasaan melalui seni bagaikana mengangkat identias suku-suku yang mendiami pulau Cenderawasih di ufuk Timur Indonesia. Mengangkat nilai-nilai budaya ini mengentalkan semangat nasionalisme rakyat Papua diera tahun 1970-1980. Nasib dari mambesak lenyap paska pertarungan ekonomi dan politik global yang memperebutkan Tanah Papua sebagai konsensi masa kini.
Pada era kejayaanya, Mambesak di motori oleh Arnold Clemens AP, Eddy Mofu, Sam Kapisa, Yoel Kafiar, dan Martiny Sawaki. Ide dasar terbentuknya grup ini adalah untuk mengangkat kesenian rakyat Papua yang berakar pada lagu-lagu dan tarian rakyat, dan menampilkannya dalam bentuk nyanyian dengan peralatan Ukulele (gitar kecil), Tifa (kendang khas Papua), Bass, dan Gitar. Arnold C. Aap, seorang tokoh antropolog dan pemerhati musik dan budaya Papua yang dalam sejarahnya merintis sebuah group musik “MAMBESAK” dengan melagukan lagu-lagu daerah asli era tahun 70-an dari berbagai bahasa daerah di Tanah Papua, menjadi sebuah sosok yang patut di contohi oleh generasi muda negeri ini.
Kehadiran Mambesak kala itu disambut antusias rakyat Papua yang membayangkan identitas budaya mereka. Kebangkitan budaya Papua yang lama terpendam sempat muncul pada tahun 1970−1980-an, ketika Arnold Ap dan Grup Mambesak-nya begitu terkenal di seluruh Papua. Lima volume kaset Mambesak yang berisi reproduksi dan rearrangement lagu-lagu daerah Papua berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk dari Mambesak di Studio RRI Nusantara V Jayapura setiap hari Minggu siang sangat populer pada era tersebut.
Salah satu ciri khas grub ini, pementasan mereka juga diselingi dengan mop (guyonan) khas Papua) yang dibawakan oleh Arnold Ap. Dalam setiap penampilannya, selain menyanyikan lagu dan menari, Mambesak juga menggunakan logat bahasa Indonesia dialek Papua dan menguraikan beberapa unsur-unsur kebudayaan Papua.
Cover Mambesak Music |
Belum lagi, arus perkembangan moderen (globalisasi) begitu cepat masuk di seantero indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya menyebabkan hilangnya nilai-nilai kearifan lokal budaya adat istiadat yang menjadi sebuah identitas suatu komunitas manusia. Musik tradisional Papua dengan lagu daerah merupakan sebuah ciri khas yang menunjukan integritas manusia Papua kini diambang kepunahan.
Bercerita dalam bentuk tarik suara, itulah irama yang dimainkan grub Mambesak. Pengungkapan isi hati dan perasaan melalui seni bagaikana mengangkat identias suku-suku yang mendiami pulau Cenderawasih di ufuk Timur Indonesia. Mengangkat nilai-nilai budaya ini mengentalkan semangat nasionalisme rakyat Papua diera tahun 1970-1980. Nasib dari mambesak lenyap paska pertarungan ekonomi dan politik global yang memperebutkan Tanah Papua sebagai konsensi masa kini.
0 Komentar untuk "MAMBESAK"